December 19, 2011

:: [ Helai 4 ] “ Sepucuk surat dari si bodoh “



“ Sepucuk surat dari si bodoh “   
                  
Helai keempat – Si bodoh memungut sebongkah pergolakan bathin berlabel GALAU dalam perjalanan semu nya yang membodohkan.


Si bodoh merindukanmu, dia merindukanmu, merindukanmu. Itu yang di gumamkan si bodoh setiap hari. Rindu, rindu, rindu. Selalu sebuah kata itu yang digumakannya saat bangun dari tidur lelah nya hingga kembali terlelap dalam tubuh lelah nya pula. Lelah, itu benar sekali. Si bodoh mulai lelah, juga takut, karena ia masih sendiri, masih saja tak ada yang temani, sendiri, sepi, disini. Tapi, bolehkah ia merindumu?

Tak hanya tubuhnya yang dijangkiti rasa lelah, kamu tahu? Si bodoh tak kalah sibuk dari kamu, tapi, ada satu hal lain yang membuatnya tak ada kesempatan untuk beristirahat barang hanya sebentar saja, hal lain yang sayang nya tak kamu juga lakukan, kamu tahu apa itu? Uhm, seharusnya si bodoh tak mengajukan pertanyaan ini, oh bukan, seharusnya si bodoh tak perlu melontarkan pertanyaan demi pertanyaan bodoh yang terkesan aneh bagimu. Tapi, bolehkah ia merindumu?

Namun, lain halnya bagi si bodoh, pertanyaan-pertanyaan bodoh nya itu adalah rangkaian kata terpintar yang di susunnya dengan susah dan lama, itu tidaklah semudah permainan puzzle atau bahkan catur yang pernah di mainkan si bodoh. Ini lebih sulit, padahal hanya mengatur susunan kata demi kata, mengapa? Ah, jangan tanyakan pertanyaan itu. Si bodoh pasti akan menjawab seperti ini, ah, aku tahu. Hm, tentu, karena si bodoh selalu tak tahu. Wajar, dia kan bodoh. Tapi, bolehkah ia merindumu?

Kamuyang selalu enggan memberi jawab atas tanya si bodoh. Walau bagi kamu itu hanyalah hal amat sepele yang aneh, namun, pernahkah sekali saja, kamu terpikir atau merasakan, bahwa nyatanya bagi si bodoh itu adalah sesuatu yang berharga, pedomani ia agar ia dapat menjadi sedikit lebih pintar dan tak selalu tersungkur dalam jurang hati mu yang semakin gelap, dan bahkan sekarang ia mulai merasa kedinginan. Si bodoh hanya bertanya, bukan meminta.Tapi, bolehkah ia merindumu?

Malangnya, kebodohan si bodoh sepertinya telah membuat kamu bahkan takut padanya. Hei, kamu, dengar, si bodoh bukan seorang paparazzi, dia itu stalker. Ups! Pengakuan bodoh dari si bodoh membuatnya tampak lebih, lebih, lebih, dan kian bodoh lagi. Si bodoh juga tak tahu mengapa ia bisa begitu, terlalu jujur, pada kamu. Si bodoh lagi lagi tak tahu. Dia hanya beralibi seperti ini, tiba-tiba sesuatu bermunculan di kepala bodohnyu, dia menyambar ponselnya, mengetik huruf demi huruf, merangkainya menjadi sebuah kata, lalu kata demi kata tersusun menjadi  sebuah kalimat apik, kemudian kalimat demi kalimat terikat dalam sebuah paragraf yang padu, dan akhirnya, mengirimkannya ke nomor kamu yang entah sejak kapan pula telah terhapal diluar kepala bodoh nya. Si bodoh tak tahu, sekali lagi, dia tak tahu. Ah, dia bodoh sekali ya. Tapi, bolehkah ia merindumu?

Si bodoh selalu terkenang masa ketika inbox ponselnya disesakkan oleh pesan – pean singkat dari kamu. Si bodoh teringat kala dia begitu bodoh menunggui ponselnya bergetar atau pun berdering, dan dia akan segera menyambarnya, lalu menemukan, eh, ternyata bukan dari kamu. Alangkah berkerutnya hati si bodoh, ia lemas, bercampur cemberut, dan masih resah. Si bodoh meletakkan ponsel itu sejajar dengan matanya,  dengan ujung dagu menempel di permukaan meja belajar cokelatnya, dengan degup-degup berpacu, memburu, di jantungnya, dengan senyum-senyum kecil yang malu-malu, dengan harap-harap cemasnya, dengan ketukan-ketukan gusar oleh ujung kuku telunjuknya di permukaan meja belajar, dengan tiupan demi tiupan menghembus poni selamat datangnya, dengan goyang-goyangan kaki di kolong mejanya, dengan gigitan resah di bibir bawahnya, dengan sebongkah pergolakan bathin di hatinya, dengan segala macam ekspresi kegundahannya. Tapi, bolehkah ia merindumu?

Lalu, si bodoh membanting ponsel barunya itu, jika tak kunjung tiba pesan singkat dari kamu, walau hanya terpelanting kasar ke kasur, tapi dia pastikan, dia telah menggunakan tenaga yang cukup besar ssat melempar ponsel barunya, ke kasur itu. Ah, mengapa si bodoh melakukannya? Ah, si bodoh juga tahu mengapa. Bagaimanamenjabarkannya pun si bodoh kehilangan kata untuk di tulis. Padahal dia berkata bahwa dia sangat suka menulis. Dasar, mengapa begitu banyak hal yang si bodoh tak tahu? Bodoh nya si bodoh itu.Tapi, bolehkah ia merindumu?

Si bodoh juga terkenang saat-saat dimana ia mendengar suaramu yang sebenarnya membuatnya sebal dengan nada suara itu, tapi, entah mengapa, si bodoh ingin selalu mendengarnya, lagi dan lagi. Si bodoh sedikit takut, jika suara itu tak lagi terngiang di telinganya, ia takut, jika ia akan lupa bagaimana nada suaramu. Mengapa? Karena semakin lama, rasanya, getar vokal itu semakin samar. Dasar, bodoh. Tapi, bolehkah ia merindumu?

Si bodoh masih ingat dengan jelas, tentu, karena ia mencatatnya. Sejak terakhir bertemu, kamu hanya menelpon nya sebanyak  dua kali. Pertama,  pada 7 juli 2011, Kamis malam, dua hari sebelum ujian Reguler Mandiri UNAND, malam itu, si bodoh karena saking gugup bercampur girang, dia tak tahu harus menjawab bagaimana, pada ayah nya yang mendapati si bodoh tengah berteleponan dengan seorang manusia berjenis kelamin laki-laki. Kepala bodoh si bodoh seperti di bungkus dengan selimut putih bersih, ah, si bodoh maksud, dia tak tahu apa yang harus di katakannya. BLANK! Ah, untung saja, kali itu, si bodoh masih cukup beruntung, ia selamat dari interogasi, syukurlah. Tapi, bolehkah ia merindumu?

Kedua, pada 6 Novemeber2011, minggu siang itu. Si bodoh benar-benar tak menyangka, kamu, hanya menelpon nya, untuk memarahi si bodoh yang telah bertindak bodoh. Si bodoh ulangi, menelepon hanya untuk memarahinya. Walau suara mu tak terdengar begitu jelas, tapi si bodoh tahu kamu sedang memarahinya. Dia sungguh gusar, dia sungguh takut, kamu, yang tiada dia dengar suaramu sekian lama, tiba-tiba meneleponnya, si bodoh dengan kebodohannya dalam menebak, berpikir, oh kamu pasti sangat marah padanya, dia, si bodoh itu berpikir dengan amat bodoh dan sok sekali, bahwa dia memang telah berulah yang membuatmu pantas sangat marah padanya. Si bodoh sungguh resah, dia takut, sungguh.

Lalu, lihat. Apa yang ia terima akibat kegusaran, keresahan, kegundahan, kekalutan, kecemasan, dan ketakutan nya yang bodoh itu? Itu justru membuat kamu semakin muak padanya. Lihatlah, betapa bodohnya ulah si bodoh. Haha. Ah, dasar si bodoh yang bodoh. Dia benci kebodohannya yang tak beralasan dan menyesakkan itu! Tapi, bolehkah ia merindumu?

Sibodoh masih menyimpan begitu banyak SMS dari kamu. Ketika level rindunya mencapai klimaks, dia akan menggeser layar sentuh ponselnya, jemari kecil nya menelusuri sebanyak 2859 pesan di inbox, dan ia pun tersenyum saat menemukan deretan SMS dengan namamu. Dia membaca satu persatu, tersenyum-senyum sendiri dengan geli yang menggelitik di hati,  tersenyum pingkal kala sepasang mata di balik kacamatanya beradu tatap dengan foto yang terselip apik di gallery itu, foto favoritnya. Foto favoritnya, kamu dengan ekspresi dan raut muka menyebalkan mu itu. Tapi, bolehkah ia merindumu?

Tak puas dengan itu,  si bodoh kemudian menelusuri jejak pencaraian kamu di history web online. Ada facebook mu, serta akun twitter mu. Ah, leganya si bodoh jika menemukan bahwa ternyata kamu masih hidup disana. Karena kebodohannya yang kian bodoh, berbagai macam ide-ide bodoh berputar mengelilingi kepala bodohnya, ia ingin sekali kamu berkomunikasi dengannya. Ah, si bodoh bahkan tampak seperti seorang stalker profesional sekarang. Dasar, sungguh tidak anggun sedikit pun. Bodohnya si bodoh! Dia memukul kepalanya. Mengapa? Ah, si bodoh pun tak tahu mengapa diabisa bermutasi menjadi gila seperti ini. Mengapa? Ah, si bodoh bilang tak tahu! Tapi, bolehkah ia merindumu?

Si bodoh, dia,  sibodoh itu justru bukannya berhenti menyukai kamu, bahkan saat ia mendegar kisah kamu dengan dia yang masih atau tak lagi kamu suka, si bodoh tak tahu.  Betapa bodohnya si bodoh, dia bahkan dengan sangat yakin, oh atau mungkin terlalu percaya diri, berkata pada hati terkecilnya, bahwa dia akan menunggu kamu, menunggu kamu datang pada kepadanya, apapun alasan yang kamu bawa, hingga kelak waktu jua lah yang akan bericara. Tapi, bolehkah ia merindumu?

Si bodoh memutuskan untuk berhenti melangkah, si bodoh lelah terus berdiri, ia akhirnya terduduk memeluk lutut dengan wajah bodoh yang dibenamkan di sela kedua lutut dan perutnya, ia menjaga hati nya agar tak lepas dan beralih ke kamu, kamu, dan kamu yang lain. Si bodoh menanti dalam kesendirian sepi yang setia temani harinya, menanti tepukan kecilmu di kepala bodohnya, membantunya berdiri, mengajarinya berjalan, dan mengirinya berlari, bersama di perjalanan tak berujung. Si bodoh itu sedang dan masih menanti kamu, yang entah mengapa pula, si bodoh tak tahu, mengapa hanya ada kamu di otak bodohnya itu. Tapi, bolehkah ia merindumu?

Si bodoh bahkan sialnya tak mampu walau hanyasekedar membayangkan siapa lah yang akan ditakdirkan bersanding dengannya kelak, ah, itu pun jika iamemiliki umur sampai sepanjang itu, jika dia seberuntung itu. Di otak bodohnya hanya ada kamu, kamu, kamu, dan juga kamu. Mungkin karena otak bodohnya terlalu bodoh untuk membangun ilusitentang sesosok kamu yang lain. Dia bodoh, sangat bodoh. Tapi, bolehkah ia merindumu?

Lalu, apa kamu tahu? Ah, kamu pasti tak tahu. Iya kan? Tentu. Si bodoh entah mengapa begitu ingin bertemu kembali denganmu, ia sungguh ingin memuntahkan sesuatu yang mengaduk-aduk perutnya. Mungkin dia akan mual-mual dan ingin muntah, tapi tak juga muntah, dan sesuatu itu masih sesak di dadanya. Ah, menjijikkan. Tapi, bolehkah ia merindumu?

Begini, dia mungkin akan berbicara berbelit-belit dan membaut kamu semakin bingung, tak mengerti, dan pada akhirnya, kamu akan memarahi si bodoh yang akan tampak kian bodoh di depan kamu yang sialnya, si bodoh, dia terlalu suka. Dia benci mengapa tak bisa bicara selancar ini ketika di depan kamu, mengapa ia begitu bodoh dalam hal lisan, mengapa dia begitu bodoh dan hanya berani bersorak dalam kata. Ia benci menjadi seorang yang tak berarti bagimu. Tapi, bolehkah ia merindumu?

Sungguh, ia hanya ingin kamu, walau hanya satu kali saja, melihat nya, walau hanya sepintas. Ia tak minta lebih, meminta kamu mendampinginya dalam suatu ikatan antara kamu dan si bodoh, itu, adalah hal yang amat berlebihan kan bagi si bodoh? Dia cukup tahu, kamu bukan untuknya, tapi untuk dia yang lain, yang si bodoh masih juga tak tahu, dia yang lain itu, adalah itu atau dia yang lain, atau dia yang lain lagi dan lagi. Ah, begitu banyak dia di sekitarmu yang bergiliran mengacukan sistem otak si bodoh yang memang bodoh. Tapi, bolehkah ia merindumu?


Bolehkah si bodoh itu merindumu?

Bolehkah?

December 19, 2011

:: [ Helai 4 ] “ Sepucuk surat dari si bodoh “



“ Sepucuk surat dari si bodoh “   
                  
Helai keempat – Si bodoh memungut sebongkah pergolakan bathin berlabel GALAU dalam perjalanan semu nya yang membodohkan.


Si bodoh merindukanmu, dia merindukanmu, merindukanmu. Itu yang di gumamkan si bodoh setiap hari. Rindu, rindu, rindu. Selalu sebuah kata itu yang digumakannya saat bangun dari tidur lelah nya hingga kembali terlelap dalam tubuh lelah nya pula. Lelah, itu benar sekali. Si bodoh mulai lelah, juga takut, karena ia masih sendiri, masih saja tak ada yang temani, sendiri, sepi, disini. Tapi, bolehkah ia merindumu?

Tak hanya tubuhnya yang dijangkiti rasa lelah, kamu tahu? Si bodoh tak kalah sibuk dari kamu, tapi, ada satu hal lain yang membuatnya tak ada kesempatan untuk beristirahat barang hanya sebentar saja, hal lain yang sayang nya tak kamu juga lakukan, kamu tahu apa itu? Uhm, seharusnya si bodoh tak mengajukan pertanyaan ini, oh bukan, seharusnya si bodoh tak perlu melontarkan pertanyaan demi pertanyaan bodoh yang terkesan aneh bagimu. Tapi, bolehkah ia merindumu?

Namun, lain halnya bagi si bodoh, pertanyaan-pertanyaan bodoh nya itu adalah rangkaian kata terpintar yang di susunnya dengan susah dan lama, itu tidaklah semudah permainan puzzle atau bahkan catur yang pernah di mainkan si bodoh. Ini lebih sulit, padahal hanya mengatur susunan kata demi kata, mengapa? Ah, jangan tanyakan pertanyaan itu. Si bodoh pasti akan menjawab seperti ini, ah, aku tahu. Hm, tentu, karena si bodoh selalu tak tahu. Wajar, dia kan bodoh. Tapi, bolehkah ia merindumu?

Kamuyang selalu enggan memberi jawab atas tanya si bodoh. Walau bagi kamu itu hanyalah hal amat sepele yang aneh, namun, pernahkah sekali saja, kamu terpikir atau merasakan, bahwa nyatanya bagi si bodoh itu adalah sesuatu yang berharga, pedomani ia agar ia dapat menjadi sedikit lebih pintar dan tak selalu tersungkur dalam jurang hati mu yang semakin gelap, dan bahkan sekarang ia mulai merasa kedinginan. Si bodoh hanya bertanya, bukan meminta.Tapi, bolehkah ia merindumu?

Malangnya, kebodohan si bodoh sepertinya telah membuat kamu bahkan takut padanya. Hei, kamu, dengar, si bodoh bukan seorang paparazzi, dia itu stalker. Ups! Pengakuan bodoh dari si bodoh membuatnya tampak lebih, lebih, lebih, dan kian bodoh lagi. Si bodoh juga tak tahu mengapa ia bisa begitu, terlalu jujur, pada kamu. Si bodoh lagi lagi tak tahu. Dia hanya beralibi seperti ini, tiba-tiba sesuatu bermunculan di kepala bodohnyu, dia menyambar ponselnya, mengetik huruf demi huruf, merangkainya menjadi sebuah kata, lalu kata demi kata tersusun menjadi  sebuah kalimat apik, kemudian kalimat demi kalimat terikat dalam sebuah paragraf yang padu, dan akhirnya, mengirimkannya ke nomor kamu yang entah sejak kapan pula telah terhapal diluar kepala bodoh nya. Si bodoh tak tahu, sekali lagi, dia tak tahu. Ah, dia bodoh sekali ya. Tapi, bolehkah ia merindumu?

Si bodoh selalu terkenang masa ketika inbox ponselnya disesakkan oleh pesan – pean singkat dari kamu. Si bodoh teringat kala dia begitu bodoh menunggui ponselnya bergetar atau pun berdering, dan dia akan segera menyambarnya, lalu menemukan, eh, ternyata bukan dari kamu. Alangkah berkerutnya hati si bodoh, ia lemas, bercampur cemberut, dan masih resah. Si bodoh meletakkan ponsel itu sejajar dengan matanya,  dengan ujung dagu menempel di permukaan meja belajar cokelatnya, dengan degup-degup berpacu, memburu, di jantungnya, dengan senyum-senyum kecil yang malu-malu, dengan harap-harap cemasnya, dengan ketukan-ketukan gusar oleh ujung kuku telunjuknya di permukaan meja belajar, dengan tiupan demi tiupan menghembus poni selamat datangnya, dengan goyang-goyangan kaki di kolong mejanya, dengan gigitan resah di bibir bawahnya, dengan sebongkah pergolakan bathin di hatinya, dengan segala macam ekspresi kegundahannya. Tapi, bolehkah ia merindumu?

Lalu, si bodoh membanting ponsel barunya itu, jika tak kunjung tiba pesan singkat dari kamu, walau hanya terpelanting kasar ke kasur, tapi dia pastikan, dia telah menggunakan tenaga yang cukup besar ssat melempar ponsel barunya, ke kasur itu. Ah, mengapa si bodoh melakukannya? Ah, si bodoh juga tahu mengapa. Bagaimanamenjabarkannya pun si bodoh kehilangan kata untuk di tulis. Padahal dia berkata bahwa dia sangat suka menulis. Dasar, mengapa begitu banyak hal yang si bodoh tak tahu? Bodoh nya si bodoh itu.Tapi, bolehkah ia merindumu?

Si bodoh juga terkenang saat-saat dimana ia mendengar suaramu yang sebenarnya membuatnya sebal dengan nada suara itu, tapi, entah mengapa, si bodoh ingin selalu mendengarnya, lagi dan lagi. Si bodoh sedikit takut, jika suara itu tak lagi terngiang di telinganya, ia takut, jika ia akan lupa bagaimana nada suaramu. Mengapa? Karena semakin lama, rasanya, getar vokal itu semakin samar. Dasar, bodoh. Tapi, bolehkah ia merindumu?

Si bodoh masih ingat dengan jelas, tentu, karena ia mencatatnya. Sejak terakhir bertemu, kamu hanya menelpon nya sebanyak  dua kali. Pertama,  pada 7 juli 2011, Kamis malam, dua hari sebelum ujian Reguler Mandiri UNAND, malam itu, si bodoh karena saking gugup bercampur girang, dia tak tahu harus menjawab bagaimana, pada ayah nya yang mendapati si bodoh tengah berteleponan dengan seorang manusia berjenis kelamin laki-laki. Kepala bodoh si bodoh seperti di bungkus dengan selimut putih bersih, ah, si bodoh maksud, dia tak tahu apa yang harus di katakannya. BLANK! Ah, untung saja, kali itu, si bodoh masih cukup beruntung, ia selamat dari interogasi, syukurlah. Tapi, bolehkah ia merindumu?

Kedua, pada 6 Novemeber2011, minggu siang itu. Si bodoh benar-benar tak menyangka, kamu, hanya menelpon nya, untuk memarahi si bodoh yang telah bertindak bodoh. Si bodoh ulangi, menelepon hanya untuk memarahinya. Walau suara mu tak terdengar begitu jelas, tapi si bodoh tahu kamu sedang memarahinya. Dia sungguh gusar, dia sungguh takut, kamu, yang tiada dia dengar suaramu sekian lama, tiba-tiba meneleponnya, si bodoh dengan kebodohannya dalam menebak, berpikir, oh kamu pasti sangat marah padanya, dia, si bodoh itu berpikir dengan amat bodoh dan sok sekali, bahwa dia memang telah berulah yang membuatmu pantas sangat marah padanya. Si bodoh sungguh resah, dia takut, sungguh.

Lalu, lihat. Apa yang ia terima akibat kegusaran, keresahan, kegundahan, kekalutan, kecemasan, dan ketakutan nya yang bodoh itu? Itu justru membuat kamu semakin muak padanya. Lihatlah, betapa bodohnya ulah si bodoh. Haha. Ah, dasar si bodoh yang bodoh. Dia benci kebodohannya yang tak beralasan dan menyesakkan itu! Tapi, bolehkah ia merindumu?

Sibodoh masih menyimpan begitu banyak SMS dari kamu. Ketika level rindunya mencapai klimaks, dia akan menggeser layar sentuh ponselnya, jemari kecil nya menelusuri sebanyak 2859 pesan di inbox, dan ia pun tersenyum saat menemukan deretan SMS dengan namamu. Dia membaca satu persatu, tersenyum-senyum sendiri dengan geli yang menggelitik di hati,  tersenyum pingkal kala sepasang mata di balik kacamatanya beradu tatap dengan foto yang terselip apik di gallery itu, foto favoritnya. Foto favoritnya, kamu dengan ekspresi dan raut muka menyebalkan mu itu. Tapi, bolehkah ia merindumu?

Tak puas dengan itu,  si bodoh kemudian menelusuri jejak pencaraian kamu di history web online. Ada facebook mu, serta akun twitter mu. Ah, leganya si bodoh jika menemukan bahwa ternyata kamu masih hidup disana. Karena kebodohannya yang kian bodoh, berbagai macam ide-ide bodoh berputar mengelilingi kepala bodohnya, ia ingin sekali kamu berkomunikasi dengannya. Ah, si bodoh bahkan tampak seperti seorang stalker profesional sekarang. Dasar, sungguh tidak anggun sedikit pun. Bodohnya si bodoh! Dia memukul kepalanya. Mengapa? Ah, si bodoh pun tak tahu mengapa diabisa bermutasi menjadi gila seperti ini. Mengapa? Ah, si bodoh bilang tak tahu! Tapi, bolehkah ia merindumu?

Si bodoh, dia,  sibodoh itu justru bukannya berhenti menyukai kamu, bahkan saat ia mendegar kisah kamu dengan dia yang masih atau tak lagi kamu suka, si bodoh tak tahu.  Betapa bodohnya si bodoh, dia bahkan dengan sangat yakin, oh atau mungkin terlalu percaya diri, berkata pada hati terkecilnya, bahwa dia akan menunggu kamu, menunggu kamu datang pada kepadanya, apapun alasan yang kamu bawa, hingga kelak waktu jua lah yang akan bericara. Tapi, bolehkah ia merindumu?

Si bodoh memutuskan untuk berhenti melangkah, si bodoh lelah terus berdiri, ia akhirnya terduduk memeluk lutut dengan wajah bodoh yang dibenamkan di sela kedua lutut dan perutnya, ia menjaga hati nya agar tak lepas dan beralih ke kamu, kamu, dan kamu yang lain. Si bodoh menanti dalam kesendirian sepi yang setia temani harinya, menanti tepukan kecilmu di kepala bodohnya, membantunya berdiri, mengajarinya berjalan, dan mengirinya berlari, bersama di perjalanan tak berujung. Si bodoh itu sedang dan masih menanti kamu, yang entah mengapa pula, si bodoh tak tahu, mengapa hanya ada kamu di otak bodohnya itu. Tapi, bolehkah ia merindumu?

Si bodoh bahkan sialnya tak mampu walau hanyasekedar membayangkan siapa lah yang akan ditakdirkan bersanding dengannya kelak, ah, itu pun jika iamemiliki umur sampai sepanjang itu, jika dia seberuntung itu. Di otak bodohnya hanya ada kamu, kamu, kamu, dan juga kamu. Mungkin karena otak bodohnya terlalu bodoh untuk membangun ilusitentang sesosok kamu yang lain. Dia bodoh, sangat bodoh. Tapi, bolehkah ia merindumu?

Lalu, apa kamu tahu? Ah, kamu pasti tak tahu. Iya kan? Tentu. Si bodoh entah mengapa begitu ingin bertemu kembali denganmu, ia sungguh ingin memuntahkan sesuatu yang mengaduk-aduk perutnya. Mungkin dia akan mual-mual dan ingin muntah, tapi tak juga muntah, dan sesuatu itu masih sesak di dadanya. Ah, menjijikkan. Tapi, bolehkah ia merindumu?

Begini, dia mungkin akan berbicara berbelit-belit dan membaut kamu semakin bingung, tak mengerti, dan pada akhirnya, kamu akan memarahi si bodoh yang akan tampak kian bodoh di depan kamu yang sialnya, si bodoh, dia terlalu suka. Dia benci mengapa tak bisa bicara selancar ini ketika di depan kamu, mengapa ia begitu bodoh dalam hal lisan, mengapa dia begitu bodoh dan hanya berani bersorak dalam kata. Ia benci menjadi seorang yang tak berarti bagimu. Tapi, bolehkah ia merindumu?

Sungguh, ia hanya ingin kamu, walau hanya satu kali saja, melihat nya, walau hanya sepintas. Ia tak minta lebih, meminta kamu mendampinginya dalam suatu ikatan antara kamu dan si bodoh, itu, adalah hal yang amat berlebihan kan bagi si bodoh? Dia cukup tahu, kamu bukan untuknya, tapi untuk dia yang lain, yang si bodoh masih juga tak tahu, dia yang lain itu, adalah itu atau dia yang lain, atau dia yang lain lagi dan lagi. Ah, begitu banyak dia di sekitarmu yang bergiliran mengacukan sistem otak si bodoh yang memang bodoh. Tapi, bolehkah ia merindumu?


Bolehkah si bodoh itu merindumu?

Bolehkah?

Visitors

Thanks for visiting!

free counters

Followers

World Visiting