“
Sepucuk surat dari si bodoh “
Helai ketiga – Si bodoh
seolah tengah melahap rakus 1 roti keju, 1 donat keju, dan 1 kue keju. Enak,
walau memang asin, asin, dan asin. Tapi ia tetap menyantapnya lahap, karena ia
suka keju.
Si bodoh masih mengingat dengan amat jelas
saat dia dan kamu terakhir berjumpa. Pada 4 Juli 2011, berseragam ptuih-abuabu,
di sekolah. Waktu itu, ketika bersama, sekali lagi, bersama, bukan berdua.
Kerja ‘part-time’, yah, kira-kira begitulah. Hm, si bodoh tentu tak dapat
menceritakan semua secara amat gamblang di media ini. Tak seperti halnya jika
si bodoh menceritakan kisahnya memakan beberapa buah roti keju kesukaannya, ia
akan lebih leluasa dan bebas merangkai kata. Uhm, cukup lah hanya si bodoh dan
kamu yang tahu. Ah, itupun jika kamu masih ingat.
Hari demi hari berlalu, kamu tahu? Ah, kamu
pasti taktahu entah telah berapa hari tak saling jumpa sejak hari itu? Ah,
tentu, itu wajar, bukan? Iya, wajar untukmu, dan wajar pula untuk si bodoh.
Mengapa? Tentu saja, karena si bodoh dan kamu diresapi perasaan yang berbeda. Seperti
roti keju dan roti cokelat, tidak sama, bukan? Tidak sama, itu berbeda. Beda.
Untuk sekedar kamu tahu, ini adalah hari
yang ke-168. Si bodoh hanya menghitung hingga 100 hari untukmu. Ia tak cukup
berdaya untuk terus dan terus melakukan penghitungan bodoh yang bahkan tak akan
membuatnya tampak lebih pintar walau hanya sedikit, ia tak cukup pintar
menghitung untukmu. Si bodoh tak tahu (lagi dan lagi) mengapa ia masih saja
dengan bermodalkan kebodohannya terus menghitung, kali ini, hitungannya, hanya untuknya, untuk
diri bodohnya sendiri.
Si bodoh tiba-tiba terbayang dia yang terus
memakan roti-roti keju, donat demi donat keju, dan beberapa potong kue keju.
Itu asin, asin sekali, tentu, sebanyak itu. Tapi, si bodoh tetap memakannnya,
mengapa? Karena dia suka, dia suka keju, dia suka sekali pada keju. Lalu,
bagaimana dengan hitungan bodohnya itu? Mengapa? Mengapa dia tetap melakukan
penghitungan bodoh? Kemudian, si bodoh menjadi semakin sadar, bahwa nyatanya ia
memang lah benar-benar bodoh, ia selalu tak tahu, ia bahkan tak mengerti mengapa
ia melakukan itu, si bodoh ini bahkan tak memahami dirinya sendiri, bodohya si
bodoh.
Ah, bahkan, sekarang ketidaktahuan akibat
kebodohannya ini membuat si bodoh semakin akut, ia mulai tampak aneh, sangat
aneh, terlalu aneh, bahkan untuk kamu sekedar ladeni. Benar, si bodoh yang tak
hanya bodoh, si bodoh yang juga terlalu aneh, benar, benar sekali. Betapa
bodohnya si bodoh, tak jera melakukan hal-hal bodoh yang membuatnya terlihat
kian bodoh dalam dunia bodohnya yang bodoh. Aneh pula.
Uhm, apa lagi ya. Ah! Kamu tak pernah bersedia
menjawab pertanyaan si bodoh dengan sungguh. Hingga kini, si bodoh bahkan tak
tahu mana yang jujur dan mana yang sekedar asal jawab, serta mana yang gurauan belaka.
Seperti si bodoh yang tak tahu, roti ini, roti itu, dari keju jenis apa dan
darimana asalnya. Saking bodohnya si bodoh, ia tak tahu bagaimana membedakannya.
Semua terasa sama bagi si bodoh. Ah, tuh kan! Si bodoh lagi, lagi, dan lagi, selalu
tak tahu. Dasar, bodoh.
Si bodoh melakukan penghitungan hingga 100,
dulu. Si bodoh tak tahu mengapa ia melakukannya, dan ia tak kunjung jera. Satu
yang terlintas di otak labil si bodoh, semoga ia mampu menjaga rasa ini, sembari
menunggu kamu hingga 1000 ( SERIBU ) hari tiba, ia bahkan tak sadar bahwa itu bukan lah
rentang waktu yang singkat. Si bodoh juga bahkan tak tahu mengapa ia begitu ingin
bertahan lebih dan lebih lama dari kamu, dari kamu yang bertahan dengan dia
yang kamu suka, dan entah masih suka. Ah, si bodoh tak mau memikirnya, otak nya
sudah cukup bodoh, ia tak tahu, tak tahu, ia tak mau tahu, si bodoh menggeleng.
Ah!
Namun, sungguh, si bodoh benar-benar tak
mau kalah dari kamu. Si bodoh itu walau bodoh dan tak punya sesuatu yang
membuatnya tak akan tampak bodoh, tapi, apa kamu sadar? Ah, sepertinya kamu tak
akan menyadari apapun. Si bodoh itu keras kepala walau isi kepalanya hanyalah
ide-ide bodoh, tidak takut sakit karena sakit adalah teman bermainnya, tidak
pernah lelah untuk tetap tersenyum dan tertawa karena mereka adalah gurunya,
guru yang ajarkan si bodoh untuk belajar berdiri, berjalan, bahkan berlari, menuju
kamu, dan juga, si bodoh itu terlalu gengsi untuk kalah dari mu. Si bodoh tentu
tak terima, tidak mau.
Entah mengapa, ah, mengapa si bodoh selalu
menanyakan mengapa? Ah, dia ini memang bodoh ya, bahkan aneh. Setelah hari
ke-100 pun terlewati, si bodoh telah bertekad untuk berbalik arah, menentang
takdir, dan pergi menjauh, atau bahkan ia tak keberatan untuk menghilang.
Sungguh, si bodoh benar-benar berusaha kala itu, walau pada akhirnya, dia
kembali ke rutinitas bodohnya dengan segera, apa itu? Yaitu, menuju kamu.
Oleh karena si bodoh terlalu lemah
untuk melenyapkan diri bodohnya, sehingga kembali terlintas ide bodoh di otak
bodohnya. Si bodoh berharap, kali ini, setidaknya ia mampu melenyapkan kamu dari
tiap celah di otak ataupun ruang hatinya. Si bodoh benar-benar berusaha, walau
kamu tak percaya. Itu tak mudah. Si bodoh selalu terjatuh, mengapa? Karena
sejatinya, ia bahkan belum sanggup untuk berdiri sendiri, ia selalu sendiri,
sendiri dalam perjalanan bodohnya menuju kamu.
Lalu, ketika ia telah mampu untuk berdiri,
ia pun mencoba melangkah sedikit demi sedikit, dan ia kembali terjatuh,
mengapa? Karena, ternyata ia belum mampu melangkah, ia butuh seseorang untuk
memapahnya, namun sayangnya ia hanya sendiri. Si bodoh tak menyerah, ia
berusaha lebih kuat, akhirnya ia bisa berjalan. Tak lama, ia pun terjatuh lagi.
Ah, rasanya sakit.
Si bodoh tak jarang merasa seperti begitu
banyak buku tebal yang di tumpuk di dada nya, rasanya sesak sekali,di tambah
pula, saat air mata bahkan bahkan enggan mengalah padanya. Walau dia adalah
seorang yang amat sangat dan terlalu bodoh, namun, dia juga manusia, bukan?
Manusia terjahat di dunia pun boleh menangis, tapi, mengapa bulir air mata si
bodoh tak kunjung meleleh di pipinya? Air mata yang sok jual mahal itu dengan
angkuhnya lebih memilih untuk membeku di dalam hati sepi si bodoh. Ah, sungguh, yang ia
rasa, hanya sakit.
Si bodoh mulai merasakan hatinya seperti
sebuah roti keju yang terjatuh di aspal, saat terik siang begitu menyengat,
roti keju yang di sukainya itu
mengering, berkerut, berdebu, tak ada yang menginginkannya, tercampak. Yah, kurang lebih
seperti itu.
Namun, karena kebodohannya, si bodoh
kembali bangkit. Ia masih berusaha, sendiri, dan akhirnya ia telah mampu
berlari. Ia berlari, dan terus berlari, entah kemana. Lalu, apa kamu tahu apa
yang terjadi selanjutnya? Si bodoh terjatuh lagi dan lagi, mengapa? Kali ini
bukan karena dia yang lemah. Namun, karena, kamu, kamu yang mendorongnya,
hingga jatuh, tersungkur. Itu ulahmu,
kamu.
Kamu, yang jahat sekali, oh tidak, kamu
sesungguhnya tak pernah jahat pada si bodoh, sungguh. Si bodoh tak cukup bodoh
untuk percaya bahwa tentu kamu tak sengaja mendorongnya, hingga ia terjatuh,
tidak, ia terjerembab, tersungkur. Si bodoh mengeluh sakit, pada dirinya.
Mengapa? Karena si bodoh hanya sendiri. Apa kamu tahu hal itu? Apa kamu ingat apa yang membuat si bodoh
terjerembab?
Ini, hanya satu kata ini, satu kata paling
jahat yang si bodoh temui sepanjang perjalanan bodohnya menuju kamu, satu kata
yang sejatinya begitu ingin ia dengar mengalun dari kamu, tapi tidak seperti
ini, tidak dengan rasa yang kamu miliki kala itu, sungguh, jika seperti itu, si
bodoh benar tak mau, dia benci mendengarnya, sangat, itu membuatnya merasa
sangat, sangat, dan sangat bodoh terjatuh dalam jurang bodohnya yang memberi
luka, ia sungguh tampak bodoh sekali.
Ini, kata ini, hanya satu kata ini, “ Saranghae “. Pada hari ke-94, Kamis, 06 Oktober 2011, pukul 22:06 WIB, via Texting ( SMS ). Ah, kamu pasti tak ingat, tak peduli, benar kan? Tidak apa-apa, si bodoh tak apa-apa, sungguh, mengapa? Karena ia sudah terlanjur terbiasa untuk tetap menjadi tidak apa-apa.
Ini, kata ini, hanya satu kata ini, “ Saranghae “. Pada hari ke-94, Kamis, 06 Oktober 2011, pukul 22:06 WIB, via Texting ( SMS ). Ah, kamu pasti tak ingat, tak peduli, benar kan? Tidak apa-apa, si bodoh tak apa-apa, sungguh, mengapa? Karena ia sudah terlanjur terbiasa untuk tetap menjadi tidak apa-apa.
Walau telah tersungkur begitu kasar, di
dorong oleh kamu, namun berkat kebodohannya, ia masih tak sanggup untuk
men-DELETE kamu dari file di folder hari si bodoh. Begitu banyak memori tentang
kamu yang tersimpan dalam sebuah folder ukuran besar berlokasi di tempat
penyimpanan spesial di hardisk hati si bodoh. Kamu bukan virus kan? Virus yang
dengan sangat menjengkelkannya menjangkiti otak si bodoh? Dan, entah karena
alasan apa, kamu tak henti berkunjung tanpa si bodoh undang, mulai dari Senin,
Selasa, Rabu, kamis, Jumat, Sabtu, dan
tak terlupa, Minggu. Selama 24 jam setiap harinya. Mengapa kamu begitu
usil mengacaukan tatanan otak dan hati si bodoh itu, yang sejak awal memang
telah ERROR? Kamu, kamu seperti bakteri, bakteri yang mungkin bersembunyi
dibalik kelezatan roti keju kesukaan si bodoh. Ah, si bodoh tak tahu lagi.
Sehingga, si bodoh terus menjejalkan gagasan
demi gagasan bodoh di otaknya untuk menemukan metode efektif mengusir kamu agar
tak lagi datang. Sementara si bodoh memikirnya, jusru semakin banyak untaian
kata-kata bodoh yang tergantung di otaknya yang kian bodoh, dan ia bahkan salut
padamu. Mengapa kamu selalu bisa menjelma menjadi apa saja? Ketika si bodoh
hendak tidur, ia masih melihat wajah kamu, di bantal merah muda bermotif Hello
Kity-nya. Ketika dia nyaris menutup mata untuk terlelap, kamu masih disana, di
dinding biru muda kamarnya. Ketika si bodoh sedang ujian, wajah menyebalkanmu tapi
dia rindu itu, muncul tiba-tiba di lembar soal ujiannya. Ketika si bodoh menatap
sepiring nasi goreng di sarapan paginya, kamu pun hadir disana, dengan ekspresi
mengesalkan mu yang justru sangat dirindukan si bodoh. Dimana saja, kamu tak jera
muncul di dinding kamar si bodoh, di permukaan susu cokelat favorit si bodoh, di
nasi goreng si bodoh, bahkan di tutup toples keripik pisang kesukaan si bodoh saat
ia hendak membukanya. Kamu, dengan ulah tak jelas mu itu, mengikuti si bodoh kemana-mana.
Bahkan, suatu ketika di hari Jumat, seusai
shalat Dzuhur di Masjid universitas, saat ia dan seorang temannya melangkah
menuju lokal untuk kuliah siang, ia, si bodoh itu, melihat kamu, oh bukan, bukan kamu, melainkan seseorang
yang mirip sekali postur tubuh bagian belakangnya dengan kamu. Jantung si bodoh
berdegup dengan bunyi yang kurang lebih seperti ini kala itu,
dag-dig-dug-dug-dig-dag-dug-dig-dig-dag-dug-dig-dag-dag-dig-dig-dig. Tempo yang
kian cepat, dan ah! Ternyata itu memang bukan kamu, walau hanya tampak dari
kejauhan, tapi si bodoh tetap merasa sangat lega karena itu memang bukan lah kamu, leganya.
Haha.
Kapan saja, pagi saat si bodoh terjaga dari
tidur lelahnya hingga malam ketika si bodoh hendak terlelap melepas harinya
yang melelahkan. Kamu tahu? Ah, mengapa si bodoh selalu menanyakan ini. Padahal jelas-jelas kamu
tak akan tahu. Kamu tak pernah tahu, atau tak pernah mau tahu? Ah, si bodoh pun
tak mau tahu, ia selalu tak tahu, bodoh. Si bodoh, si bodoh ini bukan nya malah
berhenti menyukai kamu saat mendengar kisah kamu dahulu dengan dia yang kamu
suka. Si bodoh itu justru semakin salut pada kamu, pada rasa suka milik mu, kepada dia, orang yang entah masih kamu suka, atau tak lagi suka. Entahlah, si bodoh tak tahu, si bodoh selalu tak tahu, bodohnya si bodoh ini.
Setiap
hari si bodoh hanya melakukan hal-hal bodoh, tentu, karena ia bodoh.
Setiap
hari si bodoh selalu ingin makan keju, tentu, karena ia suka keju.
Si
bodoh tahu yang dilakukannya adalah hal bodoh, tapi, karena ia bodoh, ia tetap
melakukan hal demi hal bodoh.
Si
bodoh tahu keju itu asin, apalagi dimakan dalam kuantitas yang banyak, tapi,
karena ia suka, ia tetap memakannya, keju demi keju.
Betapa
bodohnya si bodoh.
1 comment:
Appreciate you bllogging this
Post a Comment