“ Sepucuk surat dari si bodoh “
Helai
pertama – Si bodoh dan kebodohannya yang membodohi dia hingga kian bodoh karena
ia terlalu bodoh untuk tidak tetap menjadi si bodoh.
Bodoh.
Terlalu bodoh dan lamban menyadari rasa itu
menyelip sesak di hatinya. Entah sejak kapan dan mengapa, bahkan hingga kini
pun ia tak tahu. Mengapa orang itu adalah kamu? Mengapa dan apa yang membuat
nya menjadi seperti orang yang amat bodoh? Ah, dia tak tahu. Tentu, karena sejak awal dia memang
bodoh, namanya si bodoh.
Katakan, apa itu? Hal menakjubkan apa yang kamu
pamerkan sehingga sukses membuat mata si bodoh silau, hingga ia kian bodoh, tak
memperhatikan tapak-tapak langkahnya, ia pun tergelincir, terjatuh, berguling,
tersangkut, dan akhirnya terhempas keras di dasar jurang mu? Ternyata, dia tidak
hanya bodoh, tapi sangat bodoh, oh tidak, terlalu bodoh, bahkan melangkah
dengan benar pun ia tak sanggup, bodoh sekali bukan? Betapa bodohnya si bodoh,
bukan? Mengapa? Mengapa? Mengapa? Mengapa si bodoh bisa suka padamu?
Katakan, apa itu? Hal apa itu? Si bodoh pun
ingin tahu, walau ia mungkin tak akan mengerti, karena kebodohannya tentu, tapi
sungguh, ia pun ingin tahu, walau hanya sekedar tahu, apa itu? Hanya agar ia
memiliki sebuah alasan yang akan mendorongnya tegar untuk berdiri, memanjat,
kembali ke atas walau penuh lecet dan memar, dan berharap menemukan seseorang
yang kelak mampu menjaga langkahnya agar ia tak lagi tergelincir di jurang yang
gelap, dingin, sesak, dan sepi ini, apa itu? Mengapa? Mengapa? Mengapa? Mengapa
si bodoh bisa suka padamu?
Katakan, apa itu? Apa yang telah tega kamu
lakukan hingga si bodoh terjebak dalam bayang mu? Bahkan si bodoh karena saking
boodohnya, tetap bertahan terinjak di bayangmu, hanya bayangmu, bukan kamu, bertahan
dalam gelap, si bodoh hanya sendiri, lalu mengapa? Apa alasannya? Apa itu? Mengapa?
Mengapa? Mengapa? Mengapa si bodoh bisa suka padamu?
Katakan, apa itu? Ayolah, katakan pada si bodoh,
apa itu? Apa kamu seorang pria berperawakan bak artis Korea yang si bodoh
kagumi? Apa kamu seorang putera mahkota kerajaan? Atau seorang pangeran keraton
Jogja? Apa kamu seorang yang amat pintar? Apa kamu seorang pengumpul medali
berbagai macam olimpiade Sains? Apa kamu seorang yang sangat brilian dalam
seni? Apa kamu seorang yang sangat tampan? Apa kamu seorang yang sangat kaya? Apa
kamu seorang kerabat dekat kepala negara? Apa kamu seorang yang amat populer?
Apa kamu seorang yang bergaya super keren? Apa kamu seorang yang memiliki
kemampuan super, terbang di udara? Apa kamu seorang yang sangat di gilai para
gadis? Apa kamu seorang yang sangat taat beragama? Tidak, tidak, tidak, tidak,
tidak, tidak, tidak, si bodoh menggeleng.Tak ada satupun jawaban yang iya.
Semuanya tidak. Lalu, mengapa si bodoh bisa terperosok begitu dalam di jurang
ini?Mengapa? Mengapa? Mengapa? Mengapa si bodoh bisa suka padamu?
Katakan, apa itu? Ah, apa kamu menjalin sebuah
ikatan kerjasama dengan seorang dukun? Pelet jenis apa yang telah kamu tujukan
pada si bodoh? Dukun mana yang memberikannya padamu? Atau apa kamu memperolehnya
secara cuma-cuma? Hm, satu hal yang ingin si bodoh katakan, tak peduli darimana
kamu mendapat pelet itu, atau siapa yang memberimu, atau apa petunjuk penggunannya,
satu yang pasti adalah, pelet itu sangat lah mujarab! Si bodoh terpelet, dan
karena kebodohannya, ia tak tahu bagaimana melepasnya. Kadang si bodoh pun
hendak berdaa, agar pelet mu itu segera lepas, namun satu detik kemudian, dia
sontak membatalkanya. Mengapa? Ah, si bodoh juga tak tahu, mungkin karena ia begitu
bodoh ya? Dia bahkan tak tahu apa yang sedang dilakukannya. Mengapa? Mengapa?
Mengapa? Mengapa si bodoh bisa suka padamu?
Katakan, apa itu? Apa yang membuat si bodoh bahkan
baru menyadari bahwa mungkin saja benih rasa itu telah tumbuh sebelum kamu dan
si bodoh tak saling jumpa sekian lama?Apa kamu tak mengerti? Uhm, maksud si
bodoh begini, bukan nya tak mungkin, bahkan, itu sangat masuk akal, apabila
ternyata rasa itu mekar saat kamu dan si bodoh masih saling jumpa, ketika si
bodoh masih mampu menangkap getar vokal mu, ketika si bodoh masih sanggup
melihat ekpresi mu yang membuatnya kesal, namun, karena saking bodohnya ia pun
tak tahu mengapa ia begitu merindukan momen itu saat ini, sangat dan sangat,
dan dia baru tersadar sejak 168 hari lalu, bahwa ada sesuatu yang benar-benar kurang dari
Senin hingga kembali berjumpa Senin, dalam tiap hari nya,
24 jam 1440 menit 86400 detik, yaitu
hadirmu. Mengapa? Mengapa? Mengapa? Mengapa si bodoh bisa suka padamu?
Katakan, apa itu? Apa yang membuat si bodoh
bahkan baru menyadari ini ketika kamu mempertanyakan nya pada si bodoh? Mengapa?
Mengapa si bodoh selalu tak tahu? Betapa bodohnya si bodoh, bukan? Si bodoh
pasti tampak begitu konyol di matamu, ya, si bodoh juga tahu itu, benar kan,
benar begitu bukan? Tapi, lagi dan lagi, si bodoh masih saja tak tahu apa yang hendaknya
ia lakukan, apa, apa itu? Ah, dia bodoh sekali ya? Mengapa si bodoh bisa
seperti ini? Mengapa ia begitu bodoh? Mengapa? Mengapa? Mengapa? Mengapa si
bodoh bisa suka padamu?
Katakan, apa itu? Si bodoh, si bodoh yang bodoh
itu, dia, bahkan tak mengerti diri nya sendiri, betapa bodohnya bukan? Mengapa
ia begitu bodoh hingga membuatnya tampak terlalu bodoh terjatuh dalam
kebodohannya yang memang bodoh? Mengapa? Mengapa? Mengapa? Mengapa si bodoh
bisa suka padamu?
Katakan, apa itu?
Mengapa si bodoh bisa suka padamu?
Bodoh.
1 comment:
👍👍👍
Post a Comment