“
Sepucuk surat dari si bodoh “
Helai kedua – Si bodoh terus
memakan tomat merah yang sangat di benci nya, tomat merah yang entah mengapa
tak cocok diperutnya, dan ternyata tak hanya kepala dan hatinya yang bodoh,
perutnya pun bodoh. Tomat, bukan jeruk.
Sebagaimana hal nya ketika si bodoh memakan
tomat merah yang ia benci bukan lantaran tomat itu telah menjahatinya, bukan
karena telah berlaku kejam pada perutnya, namun, si bodoh yang lagi dan lagi kembali
tak tahu, tomat itu tak cocok di dalam perutnya, mengaduk-aduk perutnya, hingga
membuatnya nyeri. Mengapa ia bisa seperti itu? Hingga kini pun si bodoh masih
tak tahu. Paman dokter hanya berkata, dengan sederhana, tomat itu tak cocok di
perutmu, hentikan mengkomsumsinya jika itu terasa menggangu, bahkan menyiksa.
Kemudian, mengapa si bodoh merasa seolah sedang memakan sebuah tomat ukuran super jumbo yang paling dibenci nya
ketika kamu menyangka bahwa si bodoh suka pada temanmu? Apa kamu tahu? Ah, kamu
pasti tak tahu, bukan? Saat membaca pesan singkat yang menyesakkan itu, dunia bodoh
si bodoh seakan berhenti berputar sesaat, dan di suatu tempat, sesearang tengah
menjatuhkan meja kayu dari atap gedung lantai 78, lalu ketika sang waktu
kembali bergulir, meja itu telah berada di awang – awang, dan tentulah kemudian
terhempas menghujam landasan parkir yang keras, dan hancur bekeping-keping. Dapatkah
kamu mengilusikan nya?
Hei, tunggu, apa kamu sedang berpikir seperti
itu lah hati si bodoh kala itu? Hancur bekeping-keping? Ah, tidak juga sih, itu
sedikit berlebihan, bukan? Uhm, baiklah,
hanya sedikit retak diberbagai sisi, atau begini, seperti ketika si
bodoh mengunyah tomat lalu memuntahkannya, namun, tentu sekian persen zat-zat
dalam tomat telah mengalir masuk ke dalam perutnya, dan ia merasa nyeri walau
tak senyeri ketika seutuhnya tomat itu mengaduk-aduk perutnya yang juga bodoh,
ah, sepertinya itu lebih tepat ya? Ya, begitulah.
Setidaknya, si bodoh layak sedikit
berbangga, tebakannya akan hal seperti ini cepat atau lambat akan terjadi,
adalah benar. Bisakah ini disebut sebagai secuil kepintaran si bodoh? Walau
kepintaran yang amat sangat kecil itu tetap membuatnya pantas mendapat julukan
si bodoh, karena, ia ternyata masih tetap saja membiarkankamu lalu-lalang tanpa
kena tilang di jalur hatinya. Bodoh, bukan? Iya, benar,
bodoh sekali, bodoh nya si bodoh.
Kamu, yang membangun persepsi bahwa si bodoh menyimpan
rasa pada teman mu, akibat peredaran gossip di media massa yang faktanya hanyalah
sekedar isu semu belaka. Yah, tidak munafik pula, teman mu memang lebih rupawan
dengan senyum nya yang memang tak dapat dipungkiri, senyum manis itu, lebih
pintar, lebih keren, lebih populer, lebih tinggi, dan satu lagi, dia juga
berkacamata.
Jika si bodoh menyukai orang seperti dia, mungkin si bodoh
tidak akan terlihat amat sangat atau bahkan terlalu bodoh, mengapa? Karena ia mengetahui,
ia memiliki banyak alasan atas tanya mengapa bisa suka, apa yang membuatnya
bisa suka. Seperti hal nya jika temanmu itu diibaratkan sebagai jeruk, mengapa?
Karena si bodoh suka jeruk, dan ia tidak keberatan memakan begitu banyak jeruk,
mengapa? Karena ia tahu, ia tahu alasanya, karena ia suka jeruk, jeruk itu
enak, dan tidak membuat perutnya terasa nyeri.
Namun, ternyata takdir yang usil ini senang
sekali mengolok-olok si bodoh, takdir yang usil ini dengan ironis nya tidak
mengijinkan si bodoh untuk melangkah di jalan dimana mungkin jalan itu akan membawa
si bodoh untuk menyukai seorang seperti dia, teman mu itu, si jeruk. Takdir
yang usil ini justru menyeret si bodoh melewati jalan menuju kamu yang disana,
yang entah sedang menunggu siapa, yang akan mendatangi kamu, dan mengajak
melangkah bersama.
Apakah si takdir yang usil ini akan
menitipkan si bodoh pada kamu, yang sedang ditujunya, dengan memikul segala
macam kebodohan sepanjang perjalanannya yang bodoh dan juga terasa mulai lelah
dan takut? Mengapa? Karena si bodoh bahkan tak melihat jelas adakah kamu disana?
Ia tak melihat apakah orang itu benar adalah sosok kamu? Apakah kamu disana
hanya sendiri, sehingga si bodoh mungkin masih memiliki sedikit kesempatan emas
untuk sekedar menabung asa mendampingimu, atau mungkin karena kebodohannya lah, si bodoh bahkan tak melihat telah ada seseorang yang sedang mendampingimu.
Namun, bodohnya, ia terus melangkah, terus
melangkah, jauh dan semakin jauh, bahkan ia tak tahu kemana harus pergi, ia
bahkan tak tahu tujuan nya, ia hanya melangkah.
Si bodoh hanya sendiri, tanpa GPS ataupun peta, dan bodohnya lagi, si
bodoh bahkan lancang mengabaikan sense of direction nya yang memang amat buruk,
ia mungkin akan terkurung dan tak dapat kembali dari perjalanan semu nya. Seperti
terjebak dalam labirin dengan begitu banyak cabang yang membuat si bodoh
‘blank’ seketika, mengapa? Karena kemampuan kesadaran arahnya yang memang
buruk, ini fakta. Tapi, mengapa si bodoh masih saja tetap melakukannya? Apa dia
bodoh? Ya, dia memang bodoh. Ia tak cukup pintar untuk segera berbalik arah dan
pergi. Mengapa? Tentu karena ia masih sangat bodoh, bahkan untuk hanya sedikit mengerti.
Si bodoh sesungguhnya sadar bahwa ini hanya
akan membuatnya tampak kian bodoh dan merasa sangat bodoh, tapi ia tetap melakukannya,
mengapa? Karena ini bukan sesuatu yang ia rasa sedang menjahatinya. Bahkan
sekalipun kamu tak membantu nya berdiri saat ia terjatuh, saat ia tersandung,
atau saat ia terjerembab berlari mengejar mu yang tragis nya justru berlari
mengerjar dia yang si bodoh tak tahu. Mengapa si bodoh selalu tak tahu? Ah,
sungguh, kadang si bodoh benci sekali pada dirinya. Mengapa ia selalu tak tahu?
Mengapa ia hanya bisa menebak, menebak, dan selalu menebak semua tentang kamu,
dan pada akhirnya semua tebakan itu pun salah. Si bodoh, dia, benci
kebodohannya!
Akan tetapi, ia selalu mampu berdiri dengan
tegap, dan kembali melangkah, menuju kamu. Dia melakukannya sendiri, hanya
sendiri. Si bodoh, karena saking bodohnya, hingga otak nya hanya terisi olehmu.
Bagaimana mugkin tak ada pria lain selain kamu yang terselip, walaupun hanya
satu dan di sela yang sempit di labirin otaknya? Tak ada yang lain selain kamu, hanya kamu.
Apa mungkin karena itu, ia masih saja menapak
di jalan yang semakin lama terasa semakin panjang dan jauh, dan bukan tidak
mungkin, suatu saat kelak, ia benar-benar tak dapat melihatmu lagi, mengapa?
Karena kamu telah pergi bersama dia yang si bodoh tak tahu siapa itu.Lalu, apakah
si bodoh benar-benar akan tercampak sendiri, sepi? Kemana takdir usil yang
telah membuat si bodoh benar-benar jadi super bodoh? Kemana dan berapa langkah
lagi si bodoh harus menapak? Katakan, katakan, ayo lah, katakan.
Lalu, apa yang harus nya si bodoh lakukan? Mengapa
justru kamu yang berhasil mencuri sekeping hati si bodoh ini? Itu menyebalkan
dan juga menyenangkan. Seperti tomat yang di benci si bodoh, tapi tomat itu
bergizi. Si bodoh merasa seperti sedang memakan tomat yang banyak, ia tahu itu
membuat perutnya amat nyeri, tapi, ia tetap melakukannya. Ah, mengapa jadi
begini? Si bodoh tak tahu, lagi dan lagi dan lagi, selalu tak tahu. Bodoh.
Seperi
tomat. Bukan jeruk.
Seperti
kamu. Bukan dia.
Tomat,
bukan jeruk.
Kamu,
bukan dia.
Tomat
dan Kamu.
Si
bodoh benci tomat, tomat yang berwarna merah.
Si
bodoh tak mampu benci kamu, kamu yang buatnya resah.
Tomat
dan kamu.
Si
bodoh benci tomat, sebab membuat perutnya nyeri.
Si
bodoh tidak mampu benci kamu, sebab membuat harinya berarti.
Tomat
dan kamu.
Si
bodoh benci tomat, walau tubuhnya butuh gizi.
Si
bodoh tidak mampu benci kamu, walau hatinya tertusuk duri.
Tomat
dan kamu.
Si
bodoh benci tomat, bagaimana pun tomat sajiannya.
Si
bodoh tidak mampu benci kamu, bagaimana pun kamu adanya.
Tomat
dan kamu.
Si
bodoh benci tomat, karena ia tidak suka tomat.
Si
bodoh tidak mampu benci kamu, karena ia suka kamu.
Tomat
dan kamu. Benci dan suka.
Tomat
itu kamu.
No comments:
Post a Comment